Kontribusi Manufaktur Terhadap PDB Nasional Capai 19,86%
By Abdi Satria
nusakini.com-Jakarta-Kementerian Perindustrian aktif memacu pertumbuhan industri manufaktur nasional. Pada tahun 2018, pertumbuhan industri nonmigas tercatat sebesar 4,77 persen atau mampu menyumbang 19,86 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Nilai PDB industri pengolahan pada tahun tersebut menyentuh Rp2,95 ribu triliun. Sementara itu, PDB nasional terpantau bertengger di angka Rp14,84 ribu triliun.
“Ada beberapa sektor yang tumbuhnya tinggi, seperti industri alat angkut dan otomotif tumbuh 9,49 persen, industri kulit dan alas kaki 9,42 persen, industri logam dasar 8,99 persen, industri tekstil dan produk tekstil 8,73 persen, serta industri makanan dan minuman 7,91 persen,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat menjadi pembicara pada Rapat Kerja Kementerian Perdagangan Tahun 2019 di Jakarta, Rabu (13/3).
Menurut Airlangga, sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi tersebut merupakan sektor yang menjadi andalan dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. “Kemudian kalau kita lihat dari capaian ekspor, jumlah ekspor produk industri tahun 2018 sebesar USD130,09 miliar atau naik sebesar 3,98 persen dibandingkan 2017 yang hanya mencapai USD125,10 miliar. Ekspor produk industri ini memberikan kontribusi hingga 72,19 persen dari total ekspor nasional tahun 2018 senilai USD180,21 miliar,” ucapnya.
Airlangga menuturkan, bila dilihat dari masing-masing sektor industri, ada beberapa sektor lainnya yang memungkinkan dipacu secara agresif, dari sektor industri agro misalnya, ada industri furnitur. Kemenperin mencatat, kinerja ekspor dari industri furnitur Indonesia dalam tiga tahun terakhir memperlihatkan tren yang positif.
Pada tahun 2016, nilai ekspornya sebesar 1,60 miliar dolar AS, naik menjadi 1,63 miliar dolar AS di 2017. Sepanjang 2018, nilai ekspor produk furnitur nasional kembali mengalami kenaikan hingga 1,69 miliar dolar AS atau naik 4 persen dibanding tahun 2017. “Ditargetkan, sektor industri furnitur bisa naik dua kali lipat,” ungkapnya.
Airlangga mengungkapkan, sumber bahan baku kayu di Indonesia sangat besar, mengingat potensi hutan yang sangat luas hingga 120,6 juta hektare dengan terdiri dari hutan produksi mncapai 12,8 juta hektare. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengoptimalkan potensi industri furnitur nasional melalui beberapa kebijakan, antara lain melalui program bimbingan teknis produksi, promosi dan pengembangan akses pasar, serta penyiapan SDM industri furnitur yang kompeten.
Di sektor kimia, farmasi, dan tekstil ada beberapa sektor yang nilai ekspornya dapat dipacu secara agresif, yakni industri karet. Kata Airlangga, salah satu pemain di industri karet di Indonesia yakni Michelin, resmi membeli saham PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA). Transaksi ini dilakukan di pasar negosiasi melalui crossing (transaksi tutup sendiri) via Trimegah Sekuritas senilai Rp 6,8 triliun.
Multistrada sendiri merupakan produsen ban lokal yang mempunyai kapasitas produksi lebih dari 180 ribu ton yang terdiri dari 11 juta unit ban kendaraan penumpang roda empat, 9 juta ban kendaraan roda dua, dan 250 ribu ban truk. Pada 2017, penjualan bersih MASA tercatat sebesar US$281 juta.
“Selanjutnya akan dilakukan juga ekspansi kepada industri retreading ban aircraft untuk Garuda Indonesia dan Lion Air. Kalau kita bicara industri karet, terbanyak yang menggunakan karet alam adalah produk ban untuk kendaraan beban besar berkecepatan rendah. Karena itu, untuk ban pesawat terbang akan memerlukan karet alam yang lebih banyak. Kami juga mendorong agar ekspor meningkat,” imbuh Airlangga.
Pada sektor sektor kimia, farmasi, dan tekstil juga ada pabrik industri hilirisasi batu bara PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan yang sedang dalam proses pembangunan. Hasil hilirisasi atau olahan batu bara tersebut akan diubah melalui teknologi gasifikasi untuk menghasilkan produk akhir yang memiliki nilai tambah.
Batu bara tersebut akan dikonversi menjadi syngas yang jadi bahan baku untuk diproses menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar, urea sebagai pupuk, dan Polypropylene sebagai bahan baku plastik. “Gasifikasi tehadap batu bara ini juga akan menjadi subtitusi impor terhadap elpiji, kemudian pupuk dan methanol,” imbuhnya.
Airlangga menambahkan, sektor industri logam, mesin alat transportasi dan elektronika, terjadi peningkatan ekspor yang sangat besar ada di industri baja. Hal tersebut dipacu dengan berproduksinya beberapa pabrik pengolahan (smelter) baja yang baru seperti di Morowali, Sulawesi Tengah. Total kapasitas produksi smelter nickel pig iron sebesar 2 juta ton per tahun dan 3,5 juta ton stainless steel per tahun, dengan nilai ekspor mencapai USD2 miliar pada 2017 dan naik menjadi USD3,5 miliar.
Namun kata Airlangga, untuk terus memacu ekspor baja ini, Kemenperin perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait dengan peningkatan ekspor baja tersebut, karena saat ini untuk ekspor ke Amerika Serikat masih ada biaya bea masuk sebesar 25 persen. Kemudian ekpor ke China, di negara tersebut memulai investigasi anti-dumping untuk impor baja nirkarat (stainless steel).
Hal itu dilakukan setelah Kementerian Perdagangan China menerima keluhan bahwa impor stainless steel merugikan industri lokal Negeri Tirai Bambu. “Jadi kedua negara itu melakukan kebijakan proteksi karena produk baja Indonesia masuk dalam jumlah besar,” tuturnya.
Airlangga menambahkan, lima besar negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat, China, Jepang, India dan Singapura. Ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut pada 2018, naik cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya, ekspor Indonesia ke Amerika pada 2017 nilainya USD16,67 miliar, pada 2018 naik menjadi USD17,20 miliar. Ekspor Indonesia ke China pada 2017 sebesar USD15,03 miliar, kemudian pada 2018 naik menjadi USD16,07 miliar.
Ekspor Indonesia ke Jepang pada 2017 tercatat sebesar USD10,96 miliar, pada 2018 naik menjadi USD12,06 miliar. Selanjutnya, ekspor Indonesia ke India pada 2017 sebesar USD8,79 miliar dan pada 2018 naik menjadi USD8,67 miliar. Lalu ekspor Indonesia ke Singapura pada 2017 sebesar USD8,34 miliar dan pada 2018 naik menjadi USD7,68 miliar.
“Tujuan ekspor kita saat ini utamanya ke pasar-pasar tradisional. Untuk meningkatkan nilai ekspor, kam mendorong lima sektor yang prioritas di program Making Indonesia 4.0,” pungkasnya.(p/ab)